Mengandung dan menyusui merupakan hal luar biasa bagi seorang wanita yang tentunya harus disyukuri. Tapi bagaimana ceritanya kalau terjadi dalam waktu yang bersamaan?? Ternyata bagi saya sih jadinya “be-ra-be”. Bukan hanya berabe sih, lebih dari itu sepertinya, tepatnya “ga-wat”. Tentu saja pantas disebut gawat bila nyawa jadi taruhan.
Ketika diketahui tengah mengandung untuk yang kedua kalinya, saya bertekad untuk terus menyusui si sulung Ermaryam yang pada saat itu berusia 13 bulan.
Menjelang usia kandungan 2 bulan --saat saya harus menghidupi tiga nyawa sekaligus (janin yang saya kandung, ermaryam, dan saya sendiri tentunya)-- morningsickness kembali saya rasakan persis seperti saat mengandung Ermaryam dulu. Makan sedikit, minum pun sedikit. Hanya rasa pusing dan mual saja yang banyak. Badan pun semakin kurus, bahkan sempat mencapai 42 kg saja yang artinya minus 5 kg dari berat normal dan turun 19 kg dari sejak mengandung Ermaryam.
Suami protes karena saya terlalu kurus? Tentus saja iya. Ah, masalah intinya sih bukan itu, kalau badan saya sekurus itu bagaimana kondisi janin yang saya kandung dan bayi yang saya susui. Apakah nutrisi mereka terpenuhi dengan baik? Dan lagi-lagi masalah utamanya bukan itu. Nutrisi sih kemungkinan tercukupi karena dokter kandungan sudah memberikan resep food supplement yang paling baik (red:mahal). Di saat merasa kepayahan seperti itu, cobaan yang sesungguhnya pun datang. Kontraksi muncul saat saya menyusui Ermaryam. Tidak hanya itu, beberapa hari kemudian flek pun muncul. Panik tentunya!
Setelah menghubungi RSB Emma Poeradiredja lewat telpon untuk memastikan bahwa Dr. Anita Deborah praktik di sana pada hari itu, suami pun membawa saya ke sana. Ketika sampai di sana, antrian ternyata panjang. Akhirnya kami memutuskan pindah ke antriannya dr Setyorini. Setelah di USG dan konsultasi, dokter memberikan duphaston selama 2 pekan dan tetap mengijinkan saya menyusui apabila selama masa observasi tersebut tidak terjadi lagi kontraksi dan flek. Alhamdulillah kontraksi dan flek tidak lagi muncul, namun ternyata tidak berakhir di situ. Setelah duphaston habis, kontraksi dan flek kembali muncul. Mencoba rileks dan berpikir positif bahwa semua akan baik-baik saja, Ermaryam pun tetap saya susui.
Tepat usia kandungan 4 bulan, kontraksi dan flek semakin menakutkan. Kontraksinya mirip kontraksi seperti akan melahirkan. Flek yang muncul pun semakin banyak. Suami kembali membawa saya ke dokter kandungan, kali ini ke Dr. Anita Deborah. Setelah di USG memastikan kondisi janin dan plasenta akhirnya dokter menyampaikan beberapa hal. Janin dan plasenta berada dalam kondisi yang sagat baik. Tetapi rahim dalam kondisi kontraksi terus menerus. Mengingat usia kandungan telah genap 4 bulan, untuk menyelamatkan si janin, hal yang harus dilakukan adalah menyapih si sulung, bukan mengkonsumsi obat penguat kandungan.
Sedih dan bingung. Saat itu Ermaryam baru berusia 16 bulan, dan itu berarti saya tidak bisa memberikan hak ASI kepadanya sampai masa penyapihan tiba.
Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk segera menyapih Ermaryam. Mencoba ikhlas karena rizkinya Allah lah yang mencukupi. Jauh di lubuk hati, kesedihan memang tidak dapat dibendung. Tetapi janin yang saya kandung pun membutuhkan kasih sayang. Ah, mendua memang menyakitkan! Sekarang tinggal saya syukuri saja semuanya. Titik!!
blogwalking ni..
BalasHapusassalamu'alaikum...
pantesan waktu ketemu di salman anni meni kurus ya
Sekarang ermaryam dua2nya sehat dan lucu kan ni..alhamdulillah.. insyaAllah perjuangannya Allah catat dan dapat ajr minAllah... :)
izin nge-link ya Ni
iya benar harus selalu bersyukur atas ketentuanNYA..
BalasHapus